Kadangkala Rindu
Pukul dua dini hari, aku masih tetap terjaga tanpa rasa kantuk sedikitpun. Menengok layar ponsel dan melihat akun sosial media milikmu. Tersebab rindu memang kejam, aku rela mencuri foto-foto milikmu. Kusimpan di dalam memori ponsel, juga di dalam memori ingatanku. Diam-diam aku menjadi penguntit handal, mengikuti setiap kegiatanmu sehari-harinya. Seperti intelijen yang memata-matai sebuah negara. Aku rela mencari informasi tentangmu hingga ke akar-akarnya. Hingga awal mula kau membuat akun sosial mediamu itu. Ternyata, diam-diam menjadi penguntit itu terasa menyenangkan juga. Tanpa diketahui olehmu, tanpa disadari bahwa aku sudah mengetahui seluk-beluk dirimu. Tak apa, meski kutahu kamu sedang bersama yang lain, menunggu adalah jalan ninjaku untuk tetap bertahan mengagumimu. Untuk tetap bisa menjadi pemeran pengganti yang mengisi kekosongan waktumu. Sepertinya, disela-sela kesibukanmu, aku hadir dalam senang yang tak nampak. Aku ada di dalam ketiadaan dirinya. Tak apa, tugasku hanya untuk tetap menghiburmu saat terluka. Saat semua orang memandangmu rendah. Saat dirinya membuatmu mengalah. Tak apa, aku rela menolak seseorang yang mengejar-ngejarku. Demi menunggumu, demi ingin bersamamu, hingga kepastian darimu tiba dengan bahagia.
Kadangkala rindu mulai merajalela ketika semua orang bermimpi di alam bawah sadarnya. Aku hanya bisa terjaga, tanpa mau untuk terlelap. Kantuk-kantuk yang senantiasa mengiringi langkahku menuju mimpi yang berwarna, kini tak seiring dengan realita yang ada. Kalah saing dengan rindu yang membara. Kalah teguh dengan perasaan yang selalu saja membabi-buta. Perihal logika dan keidealannya, telah terlelap pada kenyataan rindu yang mengisi ruang kepala. Penuh, hanya ada namamu di setiap saluran saraf kranialku. Fasialis dan vestibulocochlear terisi dengan rekaman wajah manismu, senyuman yang kau lontarkan, dan di setiap detiknya kamu berbicara. Terngiang-ngiang di telinga, terbayang-bayang di dalam kranial optik mataku. Tak bisa kulupa hingga menjelang dini hari yang dingin. Meski menguap dengan penuh rasa kantuk, tapi masih saja sang rindu berulang kali menghujam penghujung kantukku tanpa rasa suntuk. Akhirnya, aku masih tetap terjaga dalam lamunan yang megah. Dalam porak-poranda bahagia yang terarah.
Akhirnya, aku menggadaikan jam tidurku untuk rindu yang seharusnya sampai ke tempat tidurmu. Ke dalam mimpimu. Meski kutahu, yang ada di dalam mimpimu hanyalah dia yang kau puja setengah hati. Dia yang kau damba-dambakan setengah mati.
Rindu membantai habis-habisan jam tidurku. Mataku memerah, gejolak penantian kian membara. Tak sabar rasanya ingin sekali berjumpa denganmu lagi. Berbincang berdua diiringi senja yang megah, hingga berlabuh pada perasaan yang sempat tersentuh renjana. Hari-hari itu ingin kembali terulang, meski hanya sebatas kenang. Meski hanya sebatas angan yang menjadi arang. Karena kutahu, kamu dan dia sudah mendirikan dunia baru. Dunia yang hanya milik berdua, dunia yang memiliki batas wilayah teritorial. Aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Sebab, pertahanan yang sudah kau dan dia ciptakan begitu tebalnya, hingga sulit untuk ditembus perasaan.
Maka, cara yang tepat untuk bisa menahan rindu ini, hanyalah dengan cara menunggu. Cara yang baik untuk bisa meluapkan perasaan rindu ini, hanyalah dengan cara menguntit akun sosial media milikmu. Sebab, aku tak ingin ada perang segitiga antara aku, kau, dan dia. Maka, aku rela mengalah untuk beberapa waktu. Meski dirasa lama, tak akan membuatku khawatir. Karena sejatinya, menungguku bukan sekadar menunggu. Bukan sekadar diam saja. Kamu tidak perlu tahu caranya. Yang jelas, selesaikan dulu urusanmu dengannya. Selepas itu, kembalilah kepada seseorang yang menganggapmu sebagai rumah, meski pada kenyataannya kamu tak menganggapku sebagai tempat yang layak untuk dihuni.
Pada akhirnya, rinduku masih terus menggempur rasa kantuk yang tiada tara. Pagi sudah tiba, aku masih saja belum terlelap. Masih saja sibuk memandang foto-fotomu, masih saja meluapkan segala emosi bahagia saat menatap matamu. Ternyata, beginilah rindu yang tiada ujungnya. Lupa akan segala hal. Lupa diri, lupa caranya tidur, dan lupa caranya hidup tenang. Sialan, mengapa bisa seperti ini? Padahal kita baru saja saling kenal setelah satu tahun lamanya berjumpa. Baru saja saling menyapa setelah satu tahun lamanya sering berpapasan. Pada akhirnya, rindu menusuk akal sehatku dengan indah. Membawa derita penantian yang tak kunjung reda, menyelipkan sebuah rasa yang memburu untuk saling bertemu. Mataku sudah lelah, tapi hatiku tak kunjung terlelap untuk sekadar mengagumi dirimu. Merindui dirimu yang antah-berantah memberi timbal balik yang utuh. Tersebab rindu yang kejam, aku tak ingin mati dalam penantian yang sia-sia. Maka, lekaslah pulang. Aku ingin merayakan kerinduan bersamamu dengan berbagi kisah dan bahagia.
"Kadangkala rindu hadir tanpa aba-aba. Datang tanpa tega. Ia masuk menusuk ke dalam rasa yang utuh, merobek-robek perasaan yang sempat luruh. Dan, sayangnya, membawaku ke dalam duniamu.”
Komentar
Posting Komentar