Mentari Terbit

 Tepat pada mentari tenggelam di ufuk barat, semua redup dengan cepat. Lampu-lampu rumah mulai menyala, tetapi tak layak untuk memantapkan kepercayaan di sana. Karena sesuai pengalaman, lampu-lampu itu sedang bercanda dalam menerangi kota dan desa. Kadang menyala terang, kadang redup, kadang remang-remang. Seperti layang-layang yang ditarik ulur, lalu kemudian terputus juga. Mati juga. Begitulah kiranya perumpamaan dia yang sempat menyala bersama, lalu mati saat sedang berserius untuk menerangi kota dan desa. 

Perihal itu terlaksana dengan segera, dalam tempo sesingkat-singkatnya. Jantung berdegup keras pun terkejut, detaknya melambat seperti tak ada harap. Darah seperti beku, tak ada asupan rasa lagi yang mengalir menuju pembuluh. Tiba-tiba, sesingkat itu, aku terbunuh. Pada pikiran yang tak karuan, gejolak amarah yang tak terluapkan, aku hanya bisa terpaku terdiam tersedu-sedan. Gila sekali, tetiba saja dia mengungkap fakta bahwa dirinya telah ditembak seorang pria dan ia secara terang-terangan mendeklarasikan bahwa dirinya pelaku bucin untuk pria lainnya. Aku yang pada saat itu menjadi pendampingnya, mau tidak mau harus meng-aamiinkan hasrat yang terpendam miliknya. Bagaimana? Kejam, bukan? Ah, sudahlah. Kesehatan mental jauh lebih penting ketimbang perasaan yang memburu secara membabi buta.

Aku seperti terserap ke dalam lubang gelap tanpa ada cahaya. Terperosok jatuh hingga jauh, luruh tak  lagi bisa tersentuh. Demikianlah tergambarkan bagaimana perasaan seorang pria yang secara sukarela menjatuhkan hatinya pada seorang wanita yang tanpa perasaan. Dibuat terpuruk sedemikian rupa, supaya bisa tersadar pada realita; dia bukan lagi manusia. Ah, sudahlah. Aku tak ingin mengingat masa lalu anjing seperti ini. Biarlah dia terhapus dari jejak pikiran dan jiwa secara sukarela.

Pada ruang hampa yang gelap pekat, pada kekosongan jiwa yang abstrak, aku mecoba untuk keluar dari zona menyedihkan. Pelan-pelan dengan semampu dan sebisa diri berusaha. Dimulai dari mengasingkan, hingga belajar memahami diri sendiri dan merelakan apa yang sudah terjadi. Pada akhirnya, pelan tapi pasti. Semuanya berjalan sangat singkat, perayaan merelakan sudah dilaksanakan dengan begitu khidmat. Aku pun berdoa dengan penuh tulus dan penuh harap pada semesta, agar aku berkesempatan untuk merayakan bahagia bersama sosok wanita yang bisa memahami segala kurang dan lebihnya cinta.

Lalu, secercah cahaya melintas membawa isyarat. Sepertinya ingin membawaku kepada kebahagiaan sejati. Cahaya itu ialah kau, sosok wanita menggemaskan yang didamba jutaan makhluk hidup dimuka bumi ini. Sepertinya kau adalah jawaban dari segala doa yang sempat kutitipkan pada semesta. Dia mampu membolak-balikkan hatimu yang dulu sempat menungguku, kemudian hilang ketertarikan, dan sekarang kembali padaku yang sudah sembuh. 

Dalam fase penyembuhanku--aku hanya bisa konsen sembuh--dan kau sedang berpindah-pindah rumah, itu menjadikan kita yang jauh lebih dewasa saat dipertemukan lagi. Kita dipertemukan dengan keadaan jarak yang membentang. Sumatera dan Jawa yang mustahil bagi orang untuk percaya, mustahil bagi orang untuk kuat dalam mengatasi jarak. Bagi banyak pria, rupanya begitulah adanya. Tapi, aku ingin menjadi seorang pria yang berbeda dari kebanyakan pria. Yang memiliki prinsip berbeda dari pria modus belaka. Karena berkaca pada diri sendiri, bahwa dari segi tampang saja aku sudah kalah telak.

Kini, kau bagai mentari yang terbit di ufuk timur. Membawa angin segar untuk semuanya kembali seperti sedia kala. Membawa harap yang benar-benar di luar dugaan. Kau bagai mentari yang terbit di ufuk timur. Menerangi seisi gelap pekat dengan cahaya cintamu. Menerangi hari-hari kelamku dengan membuat hati kembali berbunga-berbunga. 

Meski jauh di pandangan mata, meski tak tergenggam oleh tangan, perasaan tulusmu mengalir begitu dalam. Saat aku kembali menyapamu, semesta membuktikan skenario-Nya dengan penuh romantis. Ia membiarkan hatimu kosong tak berpenghuni, membiarkan rasamu kembali padaku dengan tujuan: hanya untuk aku yang mengisi kekosongan di istana hatimu itu. 

Doa-doa itu pun terkabul seusai berapa tahun lamanya. Dan, hari ini juga seterusnya, aku akan menjaga doa yang sudah kupanjatkan itu; kau yang aku doakan selalu. Supaya aku senantiasa bersyukur atas apa yang sudah menimpa, dan denganmu aku merasa jauh lebih bahagia. Jauh lebih sempurna. Jauh lebih menjadi manusia. Aku akui, ternyata dibalik patah hati yang parah, ada kekuatan doa yang tak pernah payah.

Sekarang, kau dan aku sudah menjadi kita. Bisa kita bicarakan apa saja yang ingin diutarakan? Bukankah bertahun-tahun lamanya kita saling memendam perasaan? Jauh sebelum itu, kuputuskan terlebih dahulu: hari ini dan seterusnya, aku menyayangimu dengan kesadaran penuh. Kau adalah anugerah terbaik dari Tuhan yang Maha Romantis lagi Maha Asyik. Kado spesial untukku juga. Tolong, kerja samanya untuk saling menjaga tanpa melepas. Saling mencintai tanpa mencaci-maki. Saling memahami tanpa harus ditai-tai.


"Dan, doa adalah kekuatan terkuat yang menembus batas kemustahilan. Apapun, apapun itu, kamu pasti menangkan. Tuluslah dalam berdoa, detail, jangan lupa bersabar juga. Agar semesta mengerti apa yang sedang kamu tuju."

-aku, langit

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Melankolis, Melankolia

Analgesia