Tak Kasat Rasa
Di kamarku, aku pernah merenung sendiri sembari menikmati keindahan lampu neon menyala. Berpikir keras tentang apa menariknya hidup, dan bagaimana cara kerjanya bahagia. Semakin lama berpikir, semakin kuat juga perasaan cemas menggumpal di dada. Mungkin, bagi sebagian orang menariknya hidup itu hanya untuk bersenang-senang saja. Bergembira bersama sahabat, kerabat, martabat, dan materialisme lainnya. Mungkin, bagi sebagian orang cara kerja bahagia itu mudah. Hanya perlu uang yang banyak, tidak ada tagihan utang, mobil mewah, rumah mewah, dan aset-aset berharga lainnya. Wah, pemikiranku tidak sedangkal itu. Barangkali aku juga punya kesamaan tentang kebanyakan orang katakan. Namun, meski begitu, bagiku masih saja ada yang kurang—mengganjal dan mengganjil di dalam hati. Jika seperti itu, berarti menariknya hidup dan berbahagia bukanlah tentang kemewahan semata saja. Melainkan, tentang siapa yang bisa membuat cara kerja bahagia menjadi terasa nyata. Tentang dengan siapa yang bisa membuat hidup menjadi lebih menarik dan terasa unik.
Sudah lama aku tak membicarakan soal rasa. Sebab, sepertinya rasaku telah mati tergerus oleh peradaban patah hati. Sebenarnya, aku tak ingin lagi membicarakan rasa yang telah mati ini. Membicarakan tentang manusia yang hanya terobsesi karena penasaran, kemudian pergi tanpa berpamitan. Sebetulnya sangat lucu, hanya saja berbicara soal rasa, ada yang harus menjadi korban dan ada yang harus menjadi pelaku. Itu sudah ketetapan yang tak bisa diganggu gugat. Setelah perjalanan dua tahun lamanya berkelana sendiri, menikmati hidup tanpa kenyamanan yang bermakna, banyak sekali perubahan drastis di dalam diriku. Termasuk pola pikir, dan memporsir perasaan kepada setiap manusia yang antah-berantah hanya singgah tapi tak pernah sungguh. Sudah kebal dari ancaman, rayuan, tatapan, dan segalanya yang menipu daya mata hati. Tak peduli disebut single, jomblo, bahkan dikucilkan pun terserah saja. Selagi aku bisa berlapang dada, meluaskan segalanya untuk menerima apapun cacian dan makian, itu sudah lebih dari cukup. Itu yang sudah membuatku tenang, dan tak hancur lebur lagi.
Ternyata, menariknya hidup itu terletak pada kecewa dan bahagia. Sungguh manis ketika bahagia, sungguh pahit ketika kecewa. Manisnya bisa merasakan kenyamanan di hati, menyenangkan pikiran, dan menenangkan keresahan ketika sebuah persoalan hidup melanda. Hanya saja itu bisa dilakukan berdua—kala itu saat bersama pasangan yang belum pasti menjadi pendamping hidup hingga menua dan beruban—tak bisa dilakukan secara mandiri. Mungkin bisa, tetapi pasti perasaan merespon dengan ritme yang kurang merdu. Percaya atau tidak, itu sudah teralami oleh diriku sendiri. Dan, kekecewaan pasti akan hadir setelah bahagia melambung tinggi. Setelah nyaman bersama seseorang yang membuatmu lebih dimengerti, seseorang yang bisa membuatmu lebih dipahami, seseorang yang menjadikanmu lebih dihormati, kamu akan terperosok masuk ke dalam buaian fatamorgana belaka yang sudah diciptakan. Kemudian, kamu takut kehilangannya. Takut ditinggal jauh olehnya. Tanpa disadari, dimulai dari titik inilah kamu akan benar-benar terpuruk, lebih dari kecewa. Lebih dari menderita.
Aku pernah mengalaminya. Rasanya seperti diterbangkan ke langit tertinggi, lalu dipaksa untuk melompat kembali ke bumi. Memang tidak berdarah, hanya saja hati yang menjadi sasarannya. Ia menjadi luka, memar, rapuh, retak, bahkan bisa tak bernyawa.
Kecewa bukanlah akhir dari segalanya. Barangkali, dengan kecewa kamu bisa lebih dewasa dalam menyikapi suatu persoalan yang ada di kehidupan. Barangkali dengan kecewa kamu bisa menemukan hal-hal baru. Hal-hal yang belum kamu rasakan. Hal-hal yang belum terjamah oleh fisik dan jiwamu. Keduanya, kecewa dan bahagia diturunkan secara beriringan. Meski memang ternyata sekarang kita bahagia, pasti di setiap bahagia diiringi dengan kecewa. Itu sudah ketetapan yang tak bisa diganggu gugat. Namun, kita sendirilah yang perlu memahami makna dibalik apa yang sudah menimpa, agar bisa menyikapi segala rintangan dan tantangan hidup ketika gagal. Ketika menyerah. Ketika sudah tak bergairah untuk hidup. Aku yakin, jika semua orang bisa memaknai makna tersirat di setiap perjalanan hidupnya, maka ia akan menjadi manusia yang sempurna. Manusia yang penuh kasih sayang. Manusia yang penuh dengan rasa cinta.
Meski begitu, aku adalah produk-produk gagal. Rasaku telah ternodai oleh patah hati. Jiwaku telah terluluh-lantakkan oleh seseorang yang pernah mendamba-dambakkan hadirku di kehidupannya. Ternyata, semuanya omong kosong belaka. Pengkhianat. Kata-kata menjadi tak bermakna ketika berbohong. Tindakan tidak menjadi apa-apa ketika tak dapat dipercaya. Bravo! Karena seseorang, kali ini aku benar-benar lupa tentang dicintai dan mencintai. Aku benar-benar lupa bagaimana rasanya jatuh hati. Aku benar-benar lupa tentang rasanya bahagia ketika berdua. Bagiku, tak ada kenangan indah yang harus diingat ketika sudah dikhianati. Tak perlu menangisi seseorang yang tak pernah menangisi kita.
Kadang kita sering ceroboh, ingin bisa melupakan, namun lupa untuk mengikhlaskan. Ingin bisa menjauh pergi dari kehidupannya, namun lupa bahwa kita selalu menjadi stalker saat rindu melanda. Selama dua tahun perjalanan hidup tanpanya, luka yang bersemayam di dada perlahan-lahan mulai mengering. Selangkah lagi untuk menjadi sembuh total. Namun, trauma yang dirasakan hati sangatlah rumit. Sepertinya, perlu beberapa tahun lagi untuk bisa membuka dan menerima seseorang masuk ke dalam hati yang kosong tak terisi ini. Tetapi, bukan sebagai tamu. Melainkan sebagai penghuni tetap yang mampu mengerti, memahami, dan membantu mewujudkan kebahagiaan yang tak pernah bisa diwujudkan oleh diri masing-masing. Memang, tak rumit sebenarnya. Kitalah yang seringkali memperumit diri sendiri. Padahal, hanya dua saja kuncinya; antara memilih dan dipilih. Memilih untuk melupakan atau mengingat. Memilih kembali atau pergi. Dipilih menjadi rangkai hati atau hanya sekadar tamu. Dipilih sebagai pendamping hidup atau hanya mainan hidup. Perlu ditanyakan; apakah benar jatuh hati dan patah hati itu serumit ini?
Komentar
Posting Komentar