Analgesia
Sejak dua tahun lamanya mengarungi hutan hidup yang tak kunjung terbebas dari jeruji hati, kini perasaan menjelma menjadi analgesia. Tidak mampu lagi untuk merasakan sakit, meskipun dalam keadaan sadar dan tersadarkan. Sejuta mimpi yang telah dibangun selama ribuan jam, ratusan hari, dan puluhan kenangan, kini terkubur oleh kenelangsaan yang hampa. Momen-momen indah yang dulu pernah terajut sebegitu cantiknya, kini hanya tinggal menyisakan luka yang berima. Derita yang membara. Dan, kepulan-kepulan asap yang tak sanggup untuk menutupi semua rahasianya. Begitupun dengan kesengsaraan di dalam diri yang tiada akhirnya. Akal-akal seakan tidak terjadi pahit yang menimpa lara. Segalanya yang menimpa dengan begitu hebatnya, tanpa ampun, tanpa jeda, tanpa pelan, mengoyak-ngoyak perasaan yang telah dibawanya kebahagiaan.
Dewasa ini, hati menjadi sepi. Perasaan menjadi lelah untuk mencintai. Hasrat pun menjadi tak bergairah untuk mendorong menjatuhkan hati. Dewasa ini, aku sendiri. Terpatri pada senyuman yang dulu sempat diberi. Pada canda yang dulu sempat dicari. Pada akhirnya, aku harus rela melepaskan yang seharusnya dilepaskan, sebelum hati kembali diporak-porandakan oleh batasan yang menukas dan mengelupas secara perlahan-lahan.
Hatiku sepertinya sedang mati. Relaku memang sudah ingin pergi. Tak sadar, namanya masih ada di dalam ruang kepalaku yang terjeruji. Ruang ingatanku yang masih terkunci. Agar aku bisa menerimanya bahagia dengan orang yang dia cintai, maka aku butuh kunci untuk mengeluarkan segala kenangan pahit dan bahagia—saat bersamanya—yang selalu saja menggempur kepalaku secara bertubi-tubi. Leraiku ingin damai. Sepertinya, dia ingin bercerai-berai. Aku tak peduli, karena aku ingin memaki diri sendiri, mengapa harus terbawa emosi dan kondisi? Memang, perasaanku untuknya datang dari lubuk hati yang terdalam. Tulus perasaanku dalam menyulam kebahagiaan yang sudah kutanam di setiap malam. Apalah daya. Kata dia, aku bukan lagi bintang yang berkelap-kelip di ujung langit lanskap yang indah dipandang. Aku bukan lagi merah muda yang membawa kebahagiaan, tetapi kata dia, aku malah membawa penderitaan yang malang.
Kataku, ini bukanlah apa yang sedang dirasakan. Ini bukan apa yang sedang terlihat oleh mata. Nyatanya, aku begini, aku berubah, aku mengganti alur kisah, sebab kenyataannya seseorang yang aku dambakan membuatku merasa bersalah. Tak henti-hentinya aku tersudutkan dan disudutkan. Apa aku salah dalam mengambil keputusan? Jika hadirnya saja tak membawa kebahagiaan. Malah, hanya membawa kedukaan. Jika berduanya saja tak membawa kenyamanan. Malah, hanya membawa peperangan. Apa sudah cukup puas? Sudah cukup puas merobek-robek perasaanku ini? Nyatanya, dia yang aku puja-puji segenap hati, malah mencari hati yang sudah berpenghuni. Dia yang aku perjuangkan setengah mati, malah memilih seseorang yang antah-berantah balik memerjuangkannya. Atau, jangan-jangan hanya sekadar mengoyak-ngoyak perasaannya saja?
Komentar
Posting Komentar