Kalah Cepat
Dulu, sejak kita belum saling kenal. Belum saling sapa. Belum saling melemparkan senyum. Dan, selalu membelum. Meski sempat berpapasan, tetap saja kita masih asing. Tak sengaja di hari itu kita bersua, perasaan mata perlahan mengasihi rasa di dalam dada. Mulai berat, tapi bahagia. Di hari itu juga, rasa penasaran mulai tumbuh di dalam renjana. Kian hari, kian membesar kala memandang senyum indah yang terlontar dari bibirmu. Aku pun mulai memberanikan diri untuk sekadar berkenalan denganmu. Di sisi lain, aku punya maksud untuk ingin selalu dekat denganmu. Melawan arah kiblat untuk ingin menjadi saling. Ternyata, namamu selalu didamba-dambakan oleh ratusan manusia yang hidup di habitat sekolah. Wajar saja jika namamu selalu menggema di atas peradaban terkagumi dan dikagumi. Memang, kau ratu yang ditinggi-tinggikan. Ratu yang diperjuangkan oleh banyak pasukan.
Semilir angin menghampiri, membawa pesan bahwa aku sudah kalah cepat. Nyatanya, kau sudah memiliki manusia impianmu. Degup jantungku berhenti berdegup sejenak. Ingin mundur, tapi perasaan selalu saja mengajak maju. Logika ingin menyudahi, rasa malah ingin memborbardir hati. Namun, ini bukanlah akhir dari perjuangan. Justru ini adalah perjuangan yang baru saja dimulai. Kata mereka kau sudah berhubungan dengan dia tiga tahun lamanya, dan aku hanya manusia asing yang baru saja ingin masuk menjadi penghuni hatimu. Nyatanya, kau sudah memiliki penghuni terbaikmu. Dan, aku hanyalah tamu yang singgah, namun malah ingin sungguh. Dasar, perasaan!
Pada kenyataannya, aku memang sudah berani mendekatimu. Rasa nyaman yang tumbuh di dada, kian membara menghanguskan akal sehat. Luluh-lantak tak menyisakan sedikit logika yang logis. Menggumpal tak pernah mereda. Bodoh sekali diriku. Rela menggadaikan tidurku, hanya untuk memikirkanmu sampai dini hari sendu. Rela menahan kantukku hanya untuk menunggumu memberi kabar. Logikaku menjadi abstrak. Daur ulang perasaan perlu dihadirkan. Namun pada kenyataannya, aku tak sanggup. Hanya sebatas siap belum memenuhi syarat. Lagi-lagi sepertinya aku sudah terobsesi oleh dirimu yang anggun. Pura-pura bodoh untuk berjuang demi kamu seorang. Pura-pura menolak orang yang memerjuangkanku, demi kamu seorang diri. Seegois itukah aku dalam hal mengagumimu?
Tapi, aku tak peduli apapun resikonya. Aku akan mengutarakan perasaan ini. Perasaan yang secara membabi buta menenggelamkanku ke dalam palung hatimu yang terdalam. Menghanyutkanku secara lambat. Membuatku mati logika. Maka, Izinkan aku untuk mengutarakan seluruh perasaan yang kupendam sedari dulu. Sedari awal kita bertemu. Sedari kau tersenyum manis kepadaku.
Satu hal yang ingin aku utarakan kepadamu; jujur saja, aku mengagumi dirimu lebih dari yang lain. Memerjuangkanmu dan tak menggubris yang ingin kepadaku. Aku tak bisa berbasa-basi lagi. Jika aku sudah menyayangi satu wanita, maka kelak tak ada lagi wanita lain yang aku perjuangkan selain dirimu saja. Masa bodoh banyak yang mengejar-ngejarku. Itu haknya. Yang kutahu, aku juga punya hak untuk selalu memerjuangkanmu hingga hatimu tersingkap. Hingga hadirmu membawaku kepada kehidupan yang lebih cerah. Kehidupan yang bahagia. Aku percaya kepadamu, meski kutahu kau sedang percaya kepada orang lain. aku tak peduli jika kau masih dengannya, masih dengan kekasih palsumu itu. Kekasih yang tak mau hadir di kehidupan nyata, kekasih yang katanya dewasa tapi nyatanya selalu saja meracau.
Apa aku salah dalam berkata? Tolong maafkanlah. Aku sudah lelah. Hari ini, aku menuliskan secarik surat hanya untukmu. Yang berisi segenap perasaanku kepadamu. Aku hanya ingin kau dan aku menjadi kita berdua. Ingin menjadi saling, bukan asing. Ingin menjadi suka, bukan duka. Ingin menjadi cinta, bukan hawa.
Komentar
Posting Komentar