Jeda
Belakangan ini, aku selalu saja dipermainkan oleh waktu dan perasaan. Tidak tepat untuk menenangkan diri ketika hari-hari libur sudah tiba. Selalu saja merekah banyak tekanan dan absurdisme yang ditunjukkan oleh atasan. Memang, wajar saja ketika berbicara soal pekerjaan. Namun, ini bukan berbicara tentang pekerjaan, melainkan berbicara tentang manusia angkuh yang sering merengkuh kebahagiaan dan ketenangan hidup manusia lainnya. Tentang dia yang selalu ingin menang sendiri tanpa mau mengalah dan menyadari. Nyatanya, waktu seringkali mempermainkan hidup yang memiliki tujuan. Waktu seringkali marah saat ia dipermainkan. Membuat lupa, stress, depresi, gangguan mental pun bisa jadi. Tetapi, aku tak menyalahkan waktu. Aku hanya menyalahkan diriku sendiri; mengapa aku harus terus-menerus berjuang padahal tidak dihargai sama sekali?
Sedangkan sang perasaan hanya tertawa di atas kesemrawutan dunia fana. Memorak-morandakan jiwa yang sudah terbantai, menghanguskan jutaan harapan yang telah dibangun ribuan hari. Ia hanya berpikir ketika sedang terpuruk, ketika sedang terjatuh. Selebihnya, ia bahagia yang begitu menenangkan. Lepas landas seperti kapal udara yang terbang selepas-lepasnya. Tak bisa dikekang, bebas berekspresi tanpa dicaci-maki. Tanpa dijeruji. Sialan, ketika perasaan meledakkan amarahnya, ambruk sudah akal sehat yang sudah terjaga selama jutaan hari lamanya. Terjadilah patah hati yang begitu dramatis, sifatku menjadi bengis terhadap apa yang sudah terjadi. Begitulah perasaan yang diterbangkan seenaknya saja. Liar, membabi-buta, tak tahu arah dan tujuan, menerima segala hal pahit yang seharusnya tak diterima. Termasuk berjuang mati-matian untuk seseorang yang tak pernah menghargai sebuah perjuangan. Maka, jeda adalah ruang untukku memulihkan akal sehat yang sempat digumpali perasaan bengis. Jeda adalah ruang untukku berpikir seluas-luasnya, penyekat untukku melepaskan diri dari kepenatan yang tak terarah.
Barangkali, kamu adalah salah satu korban dari waktu dan perasaan. Kamu rela untuk menggadaikan waktumu demi terus-terusan menanti dia yang tak pernah menantimu. Dia yang tak pernah tersingkap hatinya, dan kamu hanya terlalu percaya diri. Sikap cerobohmu membuat dia tidak menyenangimu. Pecicilanmu membuat dia menggeleng-gelengkan kepalanya saat berpapasan denganmu. Aku mengerti bahwa kamu menginginkan dirinya, bahwa kamu mengaguminya dengan segenap perasaanmu. Dan, kamu berharap bahwa dia juga akan sama sepertimu. Namun, nyatanya tidak sama sekali. Kamu yang terlalu ambisius, dia yang terlalu serius. Kamu yang terlalu percaya diri, dia yang terlalu menjauhi. Maka, apakah kamu masih sanggup untuk bertahan di dalam waktu dan perasaan yang diam-diam menyakiti hati?
Ayolah, sesekali pakai otak kananmu. Jeda itu perlu. Kamu butuh ruang, kamu butuh penyekat. Jangan terlalu mengharapkan seseorang yang belum tentu menerimamu. Jangan terlalu percaya diri, cukup seada-adanya saja. Jangan terlalu melampaui ketika berbicara, itu akan membuatmu lebih dibenci oleh seseorang yang kamu kagumi. Cukuplah apa-adanya, jangan terlalu berlebihan.
Jika lelah dalam memerjuangkannya, jeda adalah solusi terbaik untuk memulihkan perasaan. Jika menyerah adalah jalan keluarnya, maka bangkit adalah jawaban terbaik atas segalanya. Bukankah hidup adalah pilihan? Mengapa tidak kamu pilih yang benar saja? Jika pada kenyataannya obsesi membuat gila. Jika pada dasarnya kamu hanya penasaran saja. Mengapa harus patah hati? Itulah kamu, korban perasaan yang tak pernah bertemu penghuni hati sejati. Maka, jeda adalah hal yang paling baik di antara menyerah. Menjedalah, luapkan seluruh kekecewaan yang tak terarah. Menjedalah, pastikan kamu bisa mengakhiri apa yang sudah kamu mulai. Satu hal lagi, berlapang dadalah. Luaskan seluas-luasnya hatimu. Biarlah dia dimiliki seseorang, biarlah dia terluipakan di dalam ingatanmu. Cukup bagimu berbahagia sendiri saja dulu, hari esok dan seterusnya berdua bersamaku.
Komentar
Posting Komentar