Hati-hati, Ini Hanya Hati


Pagi menjelang siang, matahari mulai merangkak pelan menuju kemegahannya. Elok, meski nyatanya panas membakar jiwa raga. Tak kalah hebat, semilir angin pun ikut meramaikan situasi yang dipenuhi dengan keragaman karakter manusia. Kala itu, suatu perkumpulan megah di satu tempat yang lumayan luas—tapi tak indah—menghancurkan kesuraman hati banyak orang terkecuali kamu. Aku melihatmu dari kejauhan seraya memerhatikan setiap gerak-gerik tingkah lakumu, setiap gimik yang kamu sampaikan kepada ratusan orang. Ternyata, kamu sedang memasang wajah palsumu. Wajah yang dipenuhi oleh kebahagiaan abstrak. Wajah yang diingin-inginkan oleh para raga—yang ada dihadapanmu. Aku tahu, dibalik itu semua, kamu sedang hancur. Meski kutahu, hancurmu bukan sekadar tentang asmara, meski hancurmu bukan sekadar tentang keluarga. Namun, pada kenyataannya, mereka yang tidak menyadari keadaanmu justru malah membantaimu habis-habisan. Dengan cara apapun itu. Termasuk saat kamu dibuat terjeruji oleh tugas—yang bahkan bukan tugasmu. 

Kamu menghabiskan segenap perasaan, segenap tenaga, segenap gengsi, segenap kantukmu demi mereka yang tak pernah menghargaimu. Demi semuanya usai dan berakhir dengan indah. Aku akui perjuanganmu itu. Memang, rasa lelah terpaut riang di wajah manismu. Membakarnya hingga kemerah-merahan. Barangkali, hatimu juga sama. Ia dibakar habis-habisan, dikuras sepenuhnya, hingga akhirnya kamu ingin berhenti sejenak. Meski begitu, kamu tetap melangkah hingga semuanya tuntas dan tunai. Berbicara soal mental, kamulah sang juaranya. Meski dirasa ingin menyudahi di awal, namun kamu tetap ingin mengakhiri akhirnya. Selamat, keras kepalamu sangat mengagumkan!

Menariknya dirimu di mataku, mungkin tentang perilakumu yang memegang teguh sebuah prinsip. Kamu rela berkorban demi orang-orang yang tidak menganggapmu sebagai orang. Kamu rela menggadaikan jam tidurmu demi kepuasan mereka semata. Mereka menganggapmu bak mesin fotokopi yang terus-terusan mengolah setiap kertas kosong dan tinta hingga menyatu menghasilkan sebuah mahakarya duplikat terbaiknya. Bagi mereka, tak ada kata lelah. Tak ada kata berhenti sejenak. Dipikiran mereka hanya ada satu; pokoknya sudah jadi. Untungnya, kamu selalu memegang prinsip yang mungkin bagimu itu sangat penting. Yang mungkin bagimu itu sangat-sangat berharga. Dan, prinsip itulah yang mengubah hidupmu jauh lebih sempurna. Jauh lebih mulia dibandingkan mereka yang hanya menganggap dirinya sebagai raja.

Aku memandangimu sekali lagi. Menatap setiap senyuman manis yang kau tebarkan ke semua orang. Bukan berarti kamu sedang tebar pesona, bukan sama sekali. Tapi, begitulah dirimu. Abstrak dan rahasianya hanya ada di dalam hatimu. Kau yang tahu isi hatimu, namun aku tahu isi pemikiranmu. Terserah saja, mau percaya atau tidak—itu hakmu. Kewajibanku hanya memerhatikanmu dari jauh, rela mendengarkanmu ketika ingin mencurahkan segala keresahan dari lubuk palung hatimu yang memarah. 

Nyatanya, perasaan memang sulit untuk dikendalikan. Hati yang berperasaan, akan selalu terjaga dalam ingatan. Termasuk sulit untuk melupakan sebuah kenangan manis yang sempat tercipta. Aku tahu bahwa mengingat dan melupakan adalah sebuah anugerah yang sudah diberikan semesta. Meski begitu, hati-hati bahwa ini hanya hati yang mudah rapuh. Bisa saja ketika kamu ingin melupakan, dia datang kembali di dalam kehidupanmu. Padahal, kamu sudah antusias dalam merayakan patah hati terbaikmu. Pada akhirnya kamu terpaksa harus merasakan penderitaan lagi—berharap kepada seseorang yang mungkin hanya sekadar bersenda-gurau belaka. Hati-hati, bahwa ini hanya hati yang mudah tersentuh. Banyak jebakan-jebakan saat ingin menghapus segala kenangan di kepala. Mungkin saja dia hanya sekadar lewat, dan kau malah kembali berharap. Mungkin saja dia hanya sekadar berkunjung, dan kau malah kembali tersanjung. Begitulah siklus hati yang berperasaan. Tak mudah untuk bisa merdeka ketika ingin melupa, tak sulit untuk bisa berharap kepada seseorang yang tak pernah mengharapkanmu lagi.

Hati-hati bahwa ini hanya hati. Teruslah dijaga dengan kebahagiaan. Lekaslah mekar dan bermetamorfosa menjadi indah. Tumbuh kembali seperti sedia kala. Berharap lagi dengan sewajarnya. Tenang saja, tak usah buru-buru. Butuh perjuangan untuk bisa melepaskan, butuh harapan baru untuk bisa melupakan. Ini hanyalah hati yang berperasaan, cukuplah lestari dengan perasaan yang utuh. Perasaan yang memburu dengan benar. Perasaan yang melihat dengan cerdas. Bukankah rasa dan derita itu lebih dekat? Bukankah bahagia dan asa itu melekat? Butuh pengorbanan yang lebih keras, seperti keras kepalamu dalam menghadapi alur kehidupan. 












“Jangan memendam perasaan sendiri. Perasaan itu seperti bom waktu. Meledakkanmu tanpa aba-aba, menghancurkan hatimu hingga berkeping-keping. Jangan memendam amarah sendiri. Amarah itu seperti ombak di laut. Menerjang hatimu yang lunak hingga luluh-lantak tak bernyawa.”














Komentar

Postingan populer dari blog ini

Melankolis, Melankolia

Mentari Terbit

Analgesia