Seperti Senja, Pertemuan Kita Singkat
Rinduku tak tentu masa habisnya. Kadang sampai seminggu, kadang sampai sewindu. Kadang juga melintas dengan terburu-buru. Hasratku semakin membiru, kedua tanganku ingin lekas memelukmu. Pertimbangan-pertimbangan yang aku timbangkan agar segera bertemu denganmu, membuatku lebih menimbang supaya seimbang. Supaya aku tak menjadi manusia yang gamang. Supaya hatiku menemukan titik terang. Sebab, ini melibatkan dia yang kau puja setengah mati. Dia yang kau puji segenap hati. Aku tak mau berada di antara, di tengah-tengah bahagiamu dan di tengah-tengah sedihmu. Maka, biarkanlah rinduku dinobatkan sebagai asa untuk memeriahkan rasa andilku demi kebahagiaanku sendiri.
Aku tahu bahwa kau sedang memuncak mencintainya, mendaki sekuat rasamu untuk selalu bisa bersamanya. Bagimu, puncak kebahagiaanmu hanya ada ketika bersama dirinya. Bagiku, tak ada yang salah. Toh, perasaan jatuh memang kenyataannya begitu indah. Perasaan jatuh pada dasarnya membuatmu lupa akan ucapan yang sempat terucap. Lupa kepada janji yang pernah dikumandangkan begitu megahnya. Bagiku, itu tak masalah. Karena yang kutahu, secinta apapun kamu kepadanya, setakut bagaimanapun kamu kehilangannya, kau tetap membutuhkan orang lain untuk sekadar menjadi pendengar terbaik. Dan, aku rela untuk sekadar menjadi pundak, telinga, bahkan rumah sekalipun, hanya demi kebahagiaanmu saja.
Tiba juga pada pengharapan rindu yang dirayakan. Pada hasrat menggebu yang harus lekas dituntaskan. Saat senja menghadirkan kemegahannya, diam terpaku mataku tertuju pada langkahmu bergerak. Dari kejauhan saja kau sudah menampakkan aura menggemaskan. Laksana angin yang berhembus dengan pelan, kau hadir membawa ketenangan. Di teras sekolah, rinduku mulai mereda, hasratku mulai meraba kebahagiaan. Perjumpaan kita tak direncanakan, mungkin ini hanyalah nadir. Entah bagaimana perasaanku dan perasaanmu saling terhubung, sehingga tanpa komunikasi pun, kamu mampu menggubris rinduku yang kian hari semakin membiru.
Sejenak, aku menghela napas. Sekejap, jantungku berdegup dengan keras. Lantas saja kau duduk di sampingku dengan memberi jarak. Sebab, kamu tak ingin terlibat konflik yang memanas. Lalu, kau diam sembari menatap jingga yang menyala. Aku merasa kikuk karena memang kita baru kembali bersua. Entah obrolan apa yang akan kusampaikan, jelasnya aku hanya ingin melepaskan rindu yang membuatku—pilu—membiru, itu saja. Namun, dari gimikmu terlihat jelas bahwa kamu ingin sekali meluapkan aksara suara sebanyak-banyaknya. Pelepasan penat ketika sudah terlalu lama bersamanya, mungkin. Silakan saja, aku siap menjadi pendengar terbaikmu!
Pada akhirnya, kekikukan kita mulai mereda. Aku mulai menanyakan kabar—sebelum harapanku terkubur—dan menanyakan seseorang yang sedang bersamamu. Kau pun meluapkan segalanya. Ternyata, katamu, jatuh hati itu memang terasa indah. Apalagi pada pandangan pertama. Karena dia, kamu menjadi seseorang yang baru. Yang lebih bahagia daripada sebelumnya. Dia sekarang menjadi idamanmu, dia kini menjadi dambaanmu. Kamu merasa nyaman ketika berada di dekatnya, merasa aman saat ke mana-mana bersamanya. Dia layaknya seorang pemimpin yang gagah dan berani, bisa menenangkanmu dengan caranya sendiri. Bisa memenangkan hatimu dengan cara yang begitu unik. Tak ada kesalahan satu pun yang dia buat selama bersamamu, dia berusaha untuk selalu menyenangkanmu. Bahkan, dia rela menghabiskan waktunya hanya demi kamu seorang. Makin hari, perasaanmu semakin terbentuk untuk mencintainya dengan penuh. Makin hari, rasa rindumu semakin terbakar untuk selalu bisa berduaan dengannya. Memang, cara dia mencintaimu itu sedikit berbeda. Dengan keapatisannya, dengan ketidakpeduliannya, membuatmu penasaran untuk selalu menyayangi dirinya. Kamu terbang melambung tinggi dibawanya, menggapai hari-harimu yang senantiasa bahagia ketika bersamanya. Memang, bagimu, dialah yang teristimewa. Bagimu, dialah sang penggenap hati, dan hatimu sudah terkunci oleh namanya.
Aku menurunkan ego sejenak. Memastikan bahwa ini bukan sekadar memperpanas hatiku, bukan sekadar membuatku tidak percaya diri. Ini hanya kenyataan yang kamu sampaikan. Tak apalah, bisa melihatmu bahagia, aku juga ikut bahagia. Biarlah sang waktu menunjukkan sampai kapan kamu akan betah bersamanya. Sampai kapan kamu akan bertahan dengan keangkuhannya. Aku rela menunggumu, meski kamu tak menungguku. Lanjutkan saja kemesraan yang sudah kamu dan dia ciptakan. Bagiku, ini menjadi terasa sulit. Aku tak tahu dengan cara apalagi supaya bisa menembus benteng pertahanan yang sudah dibangun oleh kau dan dia. Pikiranku sudah buntu. Perasaanku sudah hancur lebur. Jiwaku menangis tersedu-sedu. Tak apalah. Ambil jeda itu perlu. Setelah itu, aku akan terus-menerus memerjuangkanmu. Aku akan senantiasa mendoakanmu dari jauh, dari lubuk hatiku. Dari bumi menuju langit ketujuh. Sebab, kau dan aku seinginnya menjadi kita. Saling melumat kesedihan bersama. Saling menikmati bahagia berdua. Dan, saling menggenapkan perasaan hingga menua.
Dicukupkan perbincangan kita dengan senyuman manis yang kau titipkan sebelum pamit undur diri. Dihelanya bengis untuk tetap menjadi cinta. Kasat rasa yang nampak membukakan celah untuk aku bisa mencerna keinginanmu secara utuh. Membaca setiap lara yang tak pernah kau derai di dalam air mata. Yang kau sembunyikan di dalam pengasingan rasa secara sempurna. Jingga segera pamit mengiringi langkahmu pulang menuju dia yang kau anggap sebagai rumah. Disematkan namanya di atas harapan-harapan megah yang kamu inginkan. Bersamanya, dengannya, kau akan sempurna. Hingga kau lupa, bahwa penderitaan sedang menantimu diiringan bahagia yang mewah.
Seperti senja, pertemuan kita singkat. Rindu terbayar tuntas, ego semakin mengeras. Senang terbayar tunai, lara semakin menguat. Tak apa, baik-baik saja di sana. Berbahagialah dengannya. Kelak, jika kamu ingin kembali padaku, pulanglah. Aku hanyalah seseorang asing yang pernah menjamah semesta duniamu. Anggaplah aku sebagai apapun sesukamu, karena seaslinya aku bukan rumah untukmu. Tetapi, jika kau menginginkannya, pelukku selalu siap untukmu merebah. Tanganku selalu siap untuk mendekap. Biarlah, senang-senang dulu di sana. Aku akan bertahan sekuat tenagaku supaya senantiasa memerjuangkanmu. Nyatanya, rindu memang memberi celah untukku merasakan lelah. Ia tak salah, hanya aku saja yang terlalu habis-habisan berekspektasi tinggi. Hanya aku saja yang terlalu habis-habisan dalam hal mengagumi.
Cukuplah, wahai hati! Lupakan tentang pertemuan singkat ini. Mari, lekaslah berbenah diri. Kita siapkan kejutan untuk hari-hari berikutnya. Tetaplah bertahan, meski dibantai habis-habisan. Tetaplah berharap, meski terus-terusan digagalkan. Yang terpenting, motivasi tertinggi jangan sampai melemah. Ambil jeda, kita lanjutkan selanjutnya!
"Layaknya senja, perasaanmu kepadaku hanya selintas. Namun, tak pernah gagal dalam memberiku harapan untuk sekadar mengagumi dan terkagum-kagum pada keindahanmu."
Barangkali pertemuan singkat itu menandakan bahwa tidak akan bisa dimiliki kalau memang bukan dituliskan untuk bersama. Tidak apa kalau di masa ini bertemu dengan seseorang yang hanya bersinggah bukan menetap, karena di masa nanti ketika sudah datang waktunya bertemu dengan seseorang yang memang ditakdirkan bersama, di akan menetap selamanya.
BalasHapus